Guru Ini Berhasil Menaklukan Gembong Narkoba (2)



Tibalah waktunya, aku mengajar di kelas 2-C. Kelas yang paling mengerikan. Sebelum masuk kelas aku berdoa lama sekali. Aku memohon pertolongan dan kekuatan dari Allah swt.. Aku yakin Allah Maha Pemilik jiwa makhluk-makhluk-Nya, termasuk Rumanto. Aku memohon agar  hati Rumanto dilembutkan dan ia diberi hidayah.
            Setenang mungkin aku masuk ke ruang kelas. Selanjutnya aku mengedarkan pandangan, selain untuk menguasai audiens, juga untuk mengetahui keberadaan Rumanto. Dia duduk di bangku kedua, sejajar dengan meja guru.
            Pertemuan pertama di kelas 2-C, diawali dengan perkenalan. Setelah memperkenalkan diri, aku mulai membaca absen siswa. Setiap nama aku beri makna bebas, makna yang baik tentunya. Gelak tawa sesekali kali memenuhi ruangan kelas. Mereka sangat menikmati caraku berkenalan.
            Plok…Plak…Plok…
            Sang gembong mulai beraksi. Persis seperti kata teman-temanku. Dia memulai aksinya dengan menghentak-hentakan kakinya, kemudian melempar-lempar pinsil atau apa saja yang ada di tangannya. Aku berusaha menenangkan diri, agar tidak terpancing emosi.
            “Selanjutnya… wah namanya unik sekali. Pasti orangnya keren. RUMANTO, mana yang namanya Rumanto?” teriakku, sambil mengedarkan pandangan, pura-pura mencarinya.
            Rumanto mengacungkan tangannya dengan sumringah. Tampaknya, dia senang sekali mendapat pujian dariku.
            “Rumanto, artinya pemimpin lelaki yang membawa pembaharuan. Wah hebat ya… Rumanto ini calon pemimpin hebat…”
            Senyum Rumanto semakin lebar. Tangannya membetulkan krah bajunya, sambil mesem-mesem.
            Uuuhhhh… teman-temannya meneriaki Rumanto. Diantaranya ada juga yang mencibir dan buang muka.
            Rumanto tidak memperdulikan teriakan temannya, ia masih kelihatan bahagia sekali mendapat pujian dan sanjungan.
            “Maaf… boleh minta tolong? Siapa yang mau menghapus papan tulis?” pintaku setelah selesai mengabsen.
            Rumanto langsung berdiri dan berjalan ke arah papan tulis.
            “Tumben To, Lu rajin” ledek temannya
            “Calon pemimpin memang harus rajin dan bertanggung jawab” kataku sambil tersenyum.
            Ehem… ehem… ledek temannya lagi.
            “Terimakasih ya Rumanto” dengan senyumnya yang manis Rumanto menganggukkan kepalanya.
            Selanjutnya, proses belajar berjalan dengan tenang dan lancar. Rumanto mengikuti pelajaran dengan khusyu, bahkan dia pun menulis. Sengaja aku mendekatinya, tampak tulisannya rapih dan bukunya pun sangat rapih. Dia menulis di halaman pertama, berarti baru hari ini dia mau menulis.
            “Tulisannya bagus, Rumanto berbakat jadi penulis juga ya” kataku. Rumanto tersenyum lebih manis lagi.
            Aku sangat bersyukur, bisa menemukan cara untuk ‘menjinakkan’ Rumanto. Aku rasa, setiap orang ingin mendapat penghargaan dari orang lain. Bisa jadi, anak-anak menjadi nakal karena kurang dihargai. Bahkan, label sebagai anak nakal sudah terlanjur menempel dalam dirinya. Sehingga tidak ada keinginan untuk berubah menjadi baik.
            Rumanto, menjadi bukti. Anak yang selama ini bagaikan monster menakutkan bagi guru-guru PPL, bisa bersikap baik. Bahkan bisa diajak kerjasama. Aku semakin bersemangat untuk terus mengarahkan mereka ke arah yang lebih baik tanpa harus mengibarkan bendera perang. Sentuhlah hatinya dengan hati, itu prinsipku.
            Tanpa terasa, dua jam pelajaran pun berakhir. Aku keluar kelas dengan senyum bahagia. Teman-temanku sudah menunggu di ruang guru. Rupanya mereka menantikan kabar apa yang aku bawa. Mereka mengira aku akan terisak-isak keluar kelas.
            “Bagaimana? Lancar? Si Rumanto berulah tidak?” berondong Wanti, begitu aku sampai.
            “Alhamdulillah lancar…”
“Si Rumanto tidak ada?” tanya Wanti penasaran.
            “Ada…”
            Wanti mengernyitkan dahinya, begitu pun yang lainnya.
            “Terus?” tanya Aldi.
            “Terus apanya?” aku balik bertanya.
            “Terus bagaimana ceritanya, kamu bisa keluar kelas dengan tersenyum tidak seperti yang lain.”
            “Oh… ya biasa aja, aku mengajar seperti biasa”
            “Gimana caranya dia bisa jinak?” tanya Wanti dengan penasaran level 10.
            Aku akhirnya bercerita pengalaman mengajar di kelas 2-C. Semua mendengarkan dengan penuh takjub.

Previous
Next Post »