Tibalah waktunya, aku mengajar di kelas 2-C. Kelas
yang paling mengerikan. Sebelum masuk kelas aku berdoa lama sekali. Aku memohon
pertolongan dan kekuatan dari Allah swt.. Aku yakin Allah Maha Pemilik jiwa
makhluk-makhluk-Nya, termasuk Rumanto. Aku memohon agar hati Rumanto dilembutkan dan ia diberi
hidayah.
Setenang
mungkin aku masuk ke ruang kelas. Selanjutnya aku mengedarkan pandangan, selain
untuk menguasai audiens, juga untuk mengetahui keberadaan Rumanto. Dia duduk di
bangku kedua, sejajar dengan meja guru.
Pertemuan
pertama di kelas 2-C, diawali dengan perkenalan. Setelah memperkenalkan diri,
aku mulai membaca absen siswa. Setiap nama aku beri makna bebas, makna yang
baik tentunya. Gelak tawa sesekali kali memenuhi ruangan kelas. Mereka sangat
menikmati caraku berkenalan.
Plok…Plak…Plok…
Sang
gembong mulai beraksi. Persis seperti kata teman-temanku. Dia memulai aksinya dengan
menghentak-hentakan kakinya, kemudian melempar-lempar pinsil atau apa saja yang
ada di tangannya. Aku berusaha menenangkan diri, agar tidak terpancing emosi.
“Selanjutnya…
wah namanya unik sekali. Pasti orangnya keren. RUMANTO, mana yang namanya Rumanto?”
teriakku, sambil mengedarkan pandangan, pura-pura mencarinya.
Rumanto
mengacungkan tangannya dengan sumringah. Tampaknya, dia senang sekali mendapat
pujian dariku.
“Rumanto,
artinya pemimpin lelaki yang membawa pembaharuan. Wah hebat ya… Rumanto ini
calon pemimpin hebat…”
Senyum
Rumanto semakin lebar. Tangannya membetulkan krah bajunya, sambil mesem-mesem.
Uuuhhhh…
teman-temannya meneriaki Rumanto. Diantaranya ada juga yang mencibir dan buang
muka.
Rumanto
tidak memperdulikan teriakan temannya, ia masih kelihatan bahagia sekali
mendapat pujian dan sanjungan.
“Maaf…
boleh minta tolong? Siapa yang mau menghapus papan tulis?” pintaku setelah
selesai mengabsen.
Rumanto
langsung berdiri dan berjalan ke arah papan tulis.
“Tumben
To, Lu rajin” ledek temannya
“Calon
pemimpin memang harus rajin dan bertanggung jawab” kataku sambil tersenyum.
Ehem…
ehem… ledek temannya lagi.
“Terimakasih
ya Rumanto” dengan senyumnya yang manis Rumanto menganggukkan kepalanya.
Selanjutnya,
proses belajar berjalan dengan tenang dan lancar. Rumanto mengikuti pelajaran
dengan khusyu, bahkan dia pun menulis. Sengaja aku mendekatinya, tampak
tulisannya rapih dan bukunya pun sangat rapih. Dia menulis di halaman pertama,
berarti baru hari ini dia mau menulis.
“Tulisannya
bagus, Rumanto berbakat jadi penulis juga ya” kataku. Rumanto tersenyum lebih
manis lagi.
Aku
sangat bersyukur, bisa menemukan cara untuk ‘menjinakkan’ Rumanto. Aku rasa,
setiap orang ingin mendapat penghargaan dari orang lain. Bisa jadi, anak-anak
menjadi nakal karena kurang dihargai. Bahkan, label sebagai anak nakal sudah
terlanjur menempel dalam dirinya. Sehingga tidak ada keinginan untuk berubah
menjadi baik.
Rumanto,
menjadi bukti. Anak yang selama ini bagaikan monster menakutkan bagi guru-guru
PPL, bisa bersikap baik. Bahkan bisa diajak kerjasama. Aku semakin bersemangat
untuk terus mengarahkan mereka ke arah yang lebih baik tanpa harus mengibarkan
bendera perang. Sentuhlah hatinya dengan hati, itu prinsipku.
Tanpa
terasa, dua jam pelajaran pun berakhir. Aku keluar kelas dengan senyum bahagia.
Teman-temanku sudah menunggu di ruang guru. Rupanya mereka menantikan kabar apa
yang aku bawa. Mereka mengira aku akan terisak-isak keluar kelas.
“Bagaimana?
Lancar? Si Rumanto berulah tidak?” berondong Wanti, begitu aku sampai.
“Alhamdulillah
lancar…”
“Si Rumanto tidak ada?” tanya Wanti
penasaran.
“Ada…”
Wanti
mengernyitkan dahinya, begitu pun yang lainnya.
“Terus?”
tanya Aldi.
“Terus
apanya?” aku balik bertanya.
“Terus
bagaimana ceritanya, kamu bisa keluar kelas dengan tersenyum tidak seperti yang
lain.”
“Oh…
ya biasa aja, aku mengajar seperti biasa”
“Gimana
caranya dia bisa jinak?” tanya Wanti dengan penasaran level 10.
Aku akhirnya
bercerita pengalaman mengajar di kelas 2-C. Semua mendengarkan dengan penuh
takjub.
Sign up here with your email
ConversionConversion EmoticonEmoticon