“Hati-hati mengajar di kelas 2C, bisa-bisa dikerjain
habis-habisan.” Kata Wanti dengan nada geram. Mulutnya manyun menandakan kesal
yang luar biasa.
“Masa
tadi aku ngomong, anak badung itu tidak mau sama sekali melihatku. Alih-alih
memperhatikan malah sibuk cengengesan. Ihhh… pingin ngejambak rambutnya”
lanjutnya lagi sambil menghempaskan tubuhnya di sofa.
“Berapa
orang yang nakal wan?” tanyaku, sambil duduk di samping Wanti yang masih emosi.
“Yang
nakal banget satu orang. Tapi dia suka mempengaruhi teman-temannya untuk ikut
berbuat onar. Ya Ampun, aku sampai bingung mau ngomong apa tadi. Semua rencana
pelajaran hari ini tidak tersampaikan.” Lanjut Wanti.
“Sabar
ya Wan, semoga ke depannya mereka lebih bisa dikendalikan. Anggap saja ini
ujian berharga agar kita lebih memperbaiki persiapan mengajar.” Wanti hanya
mendengus pelan, mungkin dia sedang berusaha mengendalikan emosinya.
Sebagai
mahasiswa yang sedang mengikuti praktik mengajar, apa yang dialami sama Wanti
sangat tidak mengenakan. Kami yang sedang belajar untuk menjadi guru,
memerlukan kondisi yang kondusif. Jika semua kelas seperti itu, bisa-bisa kami
gagal dan harus mengulang praktik mengajar tahun depan.
Dapat
dikatakan kami kurang beruntung, karena mendapat sekolah swasta. Mayoritas
murid-murid di sekolah ini memiliki nilai akhir yang kecil, sehingga tidak
masuk sekolah negeri. Siswa yang memiliki minat belajar sungguh-sungguh, bisa
dihitung dengan jari. Selebihnya, berangkat sekolah hanya main-main saja, ada
juga hanya karena takut sama orang tua, bahkan ada juga yang datang ke sekolah
tanpa tahu tujuannya mau apa.
“Jangan
macam-macam sama anak sini, mereka akrab dengan preman. Jadi kalau diusik
preman akan ikut campur” begitu peringatan dari penjaga sekolah pada saat kami
baru datang.
“Cari
aman sajalah, jangan macam-macam. Guru di sini juga sudah pada tahu” lanjutnya,
dengan pandangan tajam.
Aku
membatin, mendengar penjelasan dari penjaga sekolah tersebut. Hatiku terasa
diiris. Bukankah sekolah adalah tempat untuk mendidik anak, agar memiliki
perilaku yang baik, punya masa depan yang cerah. Teori belajar mengajar yang
sudah kudapat bersesakan di kepala. Saatnya kini untuk menerapkan teori-teori
itu, tapi harus berhadapan dengan kondisi seperti ini.
“Dulu
ada guru yang sok tegas, anak yang nakal dihukum. Apa yang terjadi? Pulang dari
sekolah, di tempat yang sepi guru itu disergap, nyaris nyawanya tidak
tertolong.” Bapak penjaga sekolah melanjutkan ceritanya.
Spontan kami bergidik mendengarnya.
Sesama
teman seperjuangan, guru-guru PPL sepakat untuk mencari jalan aman. Bukannya
kami tidak mau mendidik siswa dengan sebaik mungkin. Namun posisi kami yang
masih belajar dan melaksanakan tugas akhir, menuntut kami untuk tidak terlalu
terlibat dalam menghadapi kenakalan siswa. Kami hanya berusaha untuk
menyelesaikan tugas mengajar dengan baik dan mendapat nilai yang baik.
Kami
berusaha untuk menjadi sahabat bagi semua siswa, sehingga mereka tidak canggung
dengan kami. Cara ini cukup efektif untuk mengontrol emosi mereka. Walaupun
tidak semua siswa bisa akrab dengan kami,
tapi lumayan mereka tidak mengganggu ketika kami mengajar di kelas.
Siswa yang memang sangat nakal sangat sulit kami dekati. Salah satunya Rumanto
‘penguasa’ 2-C. Dia senantiasa memandang sinis pada kami.
Berdasarkan pengakuan beberapa siswa, Rumanto
merupakan salah satu pengedar narkoba di sekolah itu. Di sekolah, dialah
gembongnya dan memiliki anak buah. Dia menjalin kerjasama dengan penjaga
sekolah juga. Langganan Rumanto banyak juga di sekolah. Tak heran jika Rumanto
bagaikan ‘raja kecil’ di sekolah, tidak ada yang berani mengusiknya, termasuk
para guru.
Teman-teman perempuanku, sudah
takluk di tangannya. Mereka memilih untuk tidak mengajar di kelas 2-C. Ada juga
yang nekad mengajar di kelas 2-C, tapi hanya sampai separuh jalan. Dia
menghambur keluar kelas sambil menangis. Penyebabnya, adalah Rumanto yang
berbuat usil. Aku sendiri, tertantang untuk menaklukannya. Aku memutar otak,
mencari jalan untuk menaklukan sang gembong.
Tanpa
terasa, hanya tinggal tiga minggu lagi, aku harus mengajar di kelas 2-C. Mau
tidak mau harus berhadapan dengan sang gembong. Selain mempersiapkan materi
sebaik mungkin, aku pun menyisihkan waktu untuk membaca buku-buku psikologi.
Aku pikir, pasti ada cara untuk menaklukan anak nakal itu, dengan cara yang
baik tentunya. Diam-diam, aku mengamati tingkah polah Rumanto.
“Tuh
itu orangnya, yang bibirnya monyong dan matanya belo.” Wanti berbisik di
telingaku, ketika Rumanto berlalu di hadapan kami.
Gayanya
sangat khas, dadanya dibusungkan, dagunya diangkat. Persis kaya koboy jahat
yang ada di film-film he…he..
Sign up here with your email
ConversionConversion EmoticonEmoticon