Guru Ini Berhasil Menaklukan Gembong Narkoba (1)



“Hati-hati mengajar di kelas 2C, bisa-bisa dikerjain habis-habisan.” Kata Wanti dengan nada geram. Mulutnya manyun menandakan kesal yang luar biasa.
            “Masa tadi aku ngomong, anak badung itu tidak mau sama sekali melihatku. Alih-alih memperhatikan malah sibuk cengengesan. Ihhh… pingin ngejambak rambutnya” lanjutnya lagi sambil menghempaskan tubuhnya di sofa.
            “Berapa orang yang nakal wan?” tanyaku, sambil duduk di samping Wanti yang masih emosi.
            “Yang nakal banget satu orang. Tapi dia suka mempengaruhi teman-temannya untuk ikut berbuat onar. Ya Ampun, aku sampai bingung mau ngomong apa tadi. Semua rencana pelajaran hari ini tidak tersampaikan.” Lanjut Wanti.
            “Sabar ya Wan, semoga ke depannya mereka lebih bisa dikendalikan. Anggap saja ini ujian berharga agar kita lebih memperbaiki persiapan mengajar.” Wanti hanya mendengus pelan, mungkin dia sedang berusaha mengendalikan emosinya.
            Sebagai mahasiswa yang sedang mengikuti praktik mengajar, apa yang dialami sama Wanti sangat tidak mengenakan. Kami yang sedang belajar untuk menjadi guru, memerlukan kondisi yang kondusif. Jika semua kelas seperti itu, bisa-bisa kami gagal dan harus mengulang praktik mengajar tahun depan.
            Dapat dikatakan kami kurang beruntung, karena mendapat sekolah swasta. Mayoritas murid-murid di sekolah ini memiliki nilai akhir yang kecil, sehingga tidak masuk sekolah negeri. Siswa yang memiliki minat belajar sungguh-sungguh, bisa dihitung dengan jari. Selebihnya, berangkat sekolah hanya main-main saja, ada juga hanya karena takut sama orang tua, bahkan ada juga yang datang ke sekolah tanpa tahu tujuannya mau apa.
            “Jangan macam-macam sama anak sini, mereka akrab dengan preman. Jadi kalau diusik preman akan ikut campur” begitu peringatan dari penjaga sekolah pada saat kami baru datang.
            “Cari aman sajalah, jangan macam-macam. Guru di sini juga sudah pada tahu” lanjutnya, dengan pandangan tajam.
            Aku membatin, mendengar penjelasan dari penjaga sekolah tersebut. Hatiku terasa diiris. Bukankah sekolah adalah tempat untuk mendidik anak, agar memiliki perilaku yang baik, punya masa depan yang cerah. Teori belajar mengajar yang sudah kudapat bersesakan di kepala. Saatnya kini untuk menerapkan teori-teori itu, tapi harus berhadapan dengan kondisi seperti ini.
            “Dulu ada guru yang sok tegas, anak yang nakal dihukum. Apa yang terjadi? Pulang dari sekolah, di tempat yang sepi guru itu disergap, nyaris nyawanya tidak tertolong.” Bapak penjaga sekolah melanjutkan ceritanya.
            Spontan kami bergidik mendengarnya.                                                                            
            Sesama teman seperjuangan, guru-guru PPL sepakat untuk mencari jalan aman. Bukannya kami tidak mau mendidik siswa dengan sebaik mungkin. Namun posisi kami yang masih belajar dan melaksanakan tugas akhir, menuntut kami untuk tidak terlalu terlibat dalam menghadapi kenakalan siswa. Kami hanya berusaha untuk menyelesaikan tugas mengajar dengan baik dan mendapat nilai yang baik.
            Kami berusaha untuk menjadi sahabat bagi semua siswa, sehingga mereka tidak canggung dengan kami. Cara ini cukup efektif untuk mengontrol emosi mereka. Walaupun tidak semua siswa bisa akrab dengan kami,  tapi lumayan mereka tidak mengganggu ketika kami mengajar di kelas. Siswa yang memang sangat nakal sangat sulit kami dekati. Salah satunya Rumanto ‘penguasa’ 2-C. Dia senantiasa memandang sinis pada kami.
 Berdasarkan pengakuan beberapa siswa, Rumanto merupakan salah satu pengedar narkoba di sekolah itu. Di sekolah, dialah gembongnya dan memiliki anak buah. Dia menjalin kerjasama dengan penjaga sekolah juga. Langganan Rumanto banyak juga di sekolah. Tak heran jika Rumanto bagaikan ‘raja kecil’ di sekolah, tidak ada yang berani mengusiknya, termasuk para guru.
Teman-teman perempuanku, sudah takluk di tangannya. Mereka memilih untuk tidak mengajar di kelas 2-C. Ada juga yang nekad mengajar di kelas 2-C, tapi hanya sampai separuh jalan. Dia menghambur keluar kelas sambil menangis. Penyebabnya, adalah Rumanto yang berbuat usil. Aku sendiri, tertantang untuk menaklukannya. Aku memutar otak, mencari jalan untuk menaklukan sang gembong.
            Tanpa terasa, hanya tinggal tiga minggu lagi, aku harus mengajar di kelas 2-C. Mau tidak mau harus berhadapan dengan sang gembong. Selain mempersiapkan materi sebaik mungkin, aku pun menyisihkan waktu untuk membaca buku-buku psikologi. Aku pikir, pasti ada cara untuk menaklukan anak nakal itu, dengan cara yang baik tentunya. Diam-diam, aku mengamati tingkah polah Rumanto.
            “Tuh itu orangnya, yang bibirnya monyong dan matanya belo.” Wanti berbisik di telingaku, ketika Rumanto berlalu di hadapan kami.
            Gayanya sangat khas, dadanya dibusungkan, dagunya diangkat. Persis kaya koboy jahat yang ada di film-film he…he..

Previous
Next Post »