Tiba-tiba bumi terasa
runtuh, menimbun sekujur tubuhku. Kemana pun pandangan ini beredar terasa
pekat, gulita. Kepalaku terasa berkeliling, mata berkunang-kunang. Kucoba
memejamkan mata dan mengontrol perasaan. Pegangan hangat suami membantu
memulihkan segala rasa. Aku begitu shock mendengar vonis dokter yang baru saja
membacakan hasil HSG (histerosalpingografi).
Satu tahun lebih usia pernikahan kami, namun tak kunjung
dikaruniai keturunan. Setelah beberapa kali melakukan pemeriksaan, dokter
menyarankan untuk dilakukan HSG, tujuannya untuk mengetahui kondisi saluran sel
telur.
“Dari hasil test HSG dapat terlihat bahwa saluran sel telur
ibu tidak normal,” perlahan dokter membacakan hasil HSG.
“ Maksud dokter ?” tanya suamiku, sambil tetap memegang
tanganku.
Dokter memandangku tajam, kemudian menghela napas
dalam-dalam, seolah menanggung beban berat.
“Kedua saluran sel
telur Ibu tersumbat secara permanen, ini merupakan cacat bawaan lahir. Sehingga
secara medis Ibu tidak bisa hamil selamanya, kecuali….” Dokter menghentikan penjelasannya
dan memandangku lagi.
“Kecuali apa dokter? “ kejar suamiku, sambil membetulkan
tempat duduknya.
“Kecuali melalui dengan program bayi tabung.“
Tangisku tak bisa dibendung lagi, air mata jatuh bercucuran.
Penjelasan dokter yang gamblang tanpa tedeng aling-aling membuatku shock. Aku
merasa dilemparkan dari tempat yang tinggi dan ditimbun dengan reruntuhan.
“Anda orang beragama, harusnya bisa lebih tenang menerima
kenyataan ini, “ lanjut dokter dengan nada ketus, yang membuatku semakin
merana.
Suamiku menunduk, membisu. Raut mukanya yang selalu ceria,
berubah duka. Duhai, hatiku semakin tercabik melihatnya. Rasanya aku ingin
berlari sekencangnya. Berlari meninggalkan dunia selamanya.
“Sabar, Dek, ini ujian dari Allah, Mas akan selalu
bersamamu,” ujar suamiku lembut, sambil memeluk pundakku. Aku terdiam. Tak ada
satu kata pun yang bisa keluar dari mulutku. Suami menuntunku ke luar ruangan
dokter. Langkahku sangat gontai. Berpuluh pasang mata mengamatiku. Semua seperti
menghakimiku.
“Dek, kita jajan baso, yuk!” ajak suamiku.
Aku menggeleng. Aku ingin cepat sampai di rumah kontrakan.
Aku ingin tidur dan membenamkan wajah di atas bantal. Kami pun melaju di atas
motor. Sepanjang jalan, kami membisu. Berkali-kali suami bertanya, tapi tidak
kujawab. Akhirnya dia bosan sendiri.
Vonis dokter membuyarkan semua impian kami untuk memiliki
buah hati. Setahun lebih kami menantinya, berbagai cara sudah kami tempuh
sebagai usaha memiliki keturunan. Kami senantiasa memupuk harapan itu, bahwa
suatu hari nanti usaha kami pasti membuahkan hasil. Namun baru saja impian itu
kandas. Aku kembali mengusap air mata yang menetes untuk kesekian kalinya.
Sejak vonis itu, aku lebih banyak mengurung diri di kamar.
Sebagai seorang wanita, aku merasa tidak sempurna, tidak ada gunanya. Diam-diam
terbersit dalam hatiku, bahwa suatu hari nanti aku harus siap jika suamiku
memutuskan untuk menikah lagi. Dia pasti sangat ingin memiliki keturunan,
sedangkan aku hanyalah wanita mandul.
“Jangan berpikir macam-macam De, Aku akan senantiasa setia
padamu,“ ujar suamiku, ketika aku menyampaikan perasaanku padanya.
“Ketika aku memilihmu sebagai pendampingku, maka aku
menerima kamu apa adanya,” katanya, meyakinkan.
“Tapi Aku mandul Mas, tidak bisa memberimu keturunan,“ kataku
dengan suara bergetar.
“Itukan kata dokter, kata manusia. Kalau Allah berkehendak
kita punya keturunan, kun fayakun, jadilah,” ujar suami sambil tersenyum manis.
“Kalau betul diagnosa dokter itu bagaimana ? apa mas tidak
mau punya anak?” Suamiku terdiam sejenak, kemudian memandangku.
“Anak hanyalah titipan Allah untuk kita, bukan milik kita.
Aku merasa bahagia berada di sisimu, De, percayalah. “
“Tapi suatu hari nanti kita akan tua, siapa yang merawat kita?
“ suaraku bergetar menahan gejolak rasa.
“ Aku ingin sekali punya anak, Mas, “ isakku tertahan.
“Berdoalah, De, ingat kisah Nabi Zakaria yang tiada henti
berdo’a untuk memiliki anak padahal istrinya mandul dan berumur sudah tua. Tapi
bagi Allah mudah saja mengabulkan doanya, mereka pun akhirnya memiliki
keturunan,” ujar suami, memelukku erat. Kubenamkan kepalaku di dadanya. Usapan
lembut di kepalaku, menambah keyakinan bahwa dia tidak akan meninggalkanku.
Kenyataan pahit ini terpaksa harus kutelan. Hatiku bertambah
merana, setiap ada pertanyaan dari orang-orang di sekitarku. Tidak sedikit yang
menganggap aku sengaja menunda kehamilan karena belum siap. Ingin rasanya
kuluahkan perasaanku pada mereka, tapi kuurungkan. Tidak ada manfaatnya, hanya
akan merusak jalinan silaturahim. Aku hanya tersenyum getir, setiap orang
bertanya, “Kapan nih gendong dede?”
Dukungan dan kesabaran suamiku, lambat laun membangkitkan
semangatku kembali. Aku melanjutkan hari-hariku seperti biasa, tidak lupa untuk
senantiasa berdoa dan mendekatkan diri kepada Allah. Aku pun mulai menyibukan
diri dengan kegiatan positif, mengajar dan menghafal Al-Quran. Banyaknya
kegiatan membuatku sedikit bisa melupakan lara di hati. Kerinduan pada hadirnya
buah hati masih sering menghantui, namun tidak lagi membuatku berduka. Aku
yakin, jika Allah mentakdirkan aku punya keturunan, pasti diberi-Nya.
Aku dan suami, hampir tidak pernah melewatkan sepertiga
malam untuk bangun dan bermunajat kepada-Nya. Kami memohon dengan
sungguh-sungguh agar segera diberi keturunan. Kami pun beruarai air mata,
setiap mengadu pada-Nya. Hati rasanya lebih tenang dan lebih ikhlas menerima
semua takdir dari-Nya. Aku yakin Allah Swt. tidak akan mendzalimi hamba-Nya.
Kami pun intropeksi diri. Kami khawatir pernah melakukan dosa yang membuat
Allah tidak ridho.
Tak lupa kami lantunkan doa yang sering dibaca oleh Nabi
Ibrahim, “Ya Tuhanku, anugerahkanlah
kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang yang saleh.”
Kami sudah mencapai titik pasrah. Kami pun sudah tidak ingin
lagi berobat. Kami yakin, jika Allah sudah berkehendak maka tidak ada yang bisa
menghalangi. Termasuk memberi keturunan. Namun, walaupun demikian, aku tetap
rajin membaca buku parenting. Menurutku tidak ada yang sia-sia dengan ilmu yang
kita miliki.
Kondisiku tidak diceritakan pada siapa pun. Hanya kami berdua
yang tahu. Tak heran, jika pihak keluarga menyarankan agar aku kembali berobat.
Namun, permintaan itu kutolak dengan halus. Menurutku untuk apa berobat jika
tidak menghasilkan apa-apa. Hanya buang-buang uang saja.
Satu tahun kemudian, kami memberanikan diri untuk mendatangi
dokter kandungan yang lebih senior. Berawal dari suami yang meminta aku untuk
kontrol. Menurutnya tidak ada salahnya untuk konsultasi dengan dokter.
Dokter kandungan yang baru kami datangi, menganjurkan untuk
dilakukan pemeriksaan HSG ulang. Aku pun mengikuti saran dokter, dan merasa
lebih siap dengan segala keputusannya. Ternyata kami mendapatkan kejutan indah,
dokter mengatakan kalau saluran telurku normal dan tidak tersumbat. Dengan
demikian, maka aku pun punya harapan untuk hamil.
Mendengar penjelasan dokter, air mataku langsung
berhamburan. Bukan air mata duka, tapi air mata bahagia. Aku langsung sujud
syukur. Aku tidak bisa melukiskan perasaanku saat itu. Seolah beban berat
terangkat dari pundakku. Legaaaaa, rasanya.
Serasa mendapatkan siraman air dingin di tengah padang
tandus, kami merasa sangat bersyukur dengan kenyataan tersebut. Kami lebih
meningkatkan lagi ibadah kepada Allah, kami sangat yakin akan pertolongan-Nya.
Setiap bulan, aku kembali harap-harap cemas. Namun kehamilan
tak kunjung datang. Ditengah penantian itu justru Allah memberikan rezeki dalam
bentuk lain. Kami diberi kemudahan untuk memiliki rumah sendiri. Rasa syukur
kami semakin bertambah dengan rezeki yang Allah berikan. Dan janji Allah adalah
nyata adanya, bahwa ketika kita bersyukur maka Allah akan menambah
kenikmatannya untuk hamba-Nya.
Sebulan setelah menempati rumah baru, aku telat datang
bulan. Dengan perasaan berdebar aku memeriksakan diri. Subhanalloh, aku
dinyatakan positif hamil ! Sujud syukur langsung aku lakukan dengan deraian air
mata tanda rasa syukur yang tiada terkira. Empat tahun sudah penantian aku
lewati dan sekarang Allah mengabulkan doa kami.
Kujalani kehamilan pertamaku dengan senang hati, aku tidak
merasakan mabok dan kepayahan lainnya. Suamiku semakin perhatian kepadaku,
setiap hari tanpa bosan menanyakan keadaanku. Setiap memeriksakan diri ke bidan
dan dokter suamiku setia mendampingi.
Setelah Sembilan bulan mengandung, tibalah saatnya aku
melahirkan. Dengan dibantu seorang bidan dan ditemani suami, aku melahirkan.
Kami dianugrahi anak perempuan yang sehat dan montok. Kami sangat bahagia,
tidak ada kata-kata yang bisa melukiskan rasa bahagiaku.
Puteriku tumbuh dengan sehat. Wajahnya yang cantik
senantiasa tersenyum. Aku pun memutuskan untuk berhenti bekerja. Aku ingin
fokus mengasuh dan mendidik puteri kami. Suami menyambut keputusanku dengan
bahagia.
Vonis dokter yang terasa menyakitkan ternyata membawa
keberkahan pada kehidupan kami. Melalui vonis ini Allah ingin memeluk kami
lebih erat, tanpa vonis itu mungkin kami akan lalai dan menjauh dari-Nya.
Tanpa diduga, setelah putri pertamaku berusia tujuh bulan,
aku merasakan tanda-tanda kehamilan. Setelah memeriksakan diri ke dokter, aku
dinyatakan positif hamil. Semua diluar dugaan kami. Namun kami tetap bersyukur atas karunia Allah. Kini
aku dan suami hidup bahagia di istana kecil kami dengan ditemani empat bidadari
kecil. Semoga kami bisa menanggung amanah ini dan mempertanggungjawabkannya di
hadapan Allah kelak.
Sign up here with your email
ConversionConversion EmoticonEmoticon