Setelah menikah, aku mendapat pekerjaan di kota yang berbeda. Aku menjadi dosen di salah satu Perguruan Tinggi di sebuah kota kecil. Setelah satu tahun mengontrak rumah, di tahun kedua kami membeli sebuah rumah sederhana. Lingkungan sekitarnya masyarakat berekonomi rendah, umumnya mereka bermata pencaharian pedagang keliling dan buruh kasar. Walaupun demikian, kami merasa nyaman dan senang. Bahkan kami banyak belajar dari para tetangga, terutama belajar hidup sederhana dan mensyukuri nikmat Allah SWT.
Kami sekeluarga cukup dekat dengan para tetangga. Anak kami dan anak-anak tetangga sering main bersama. Kami biasa saling berbagi makanan dan saling membantu jika ada yang terkena musibah.
Tetangga samping rumah, memiliki anak yang banyak. Bapaknya bekerja sebagai buruh bangunan. Karena sedang sepi pekerjaan, si bapak merantau ke Jakarta menjadi buruh bangunan. Pada saat anak ketiganya lulus SMP si bapak tidak kunjung pulang. Sampai tiba waktunya untuk daftar ke SMA, si bapak belum pulang juga.
Akhirnya istri berinisiatif untuk bertanya pada anak itu. Apakah dia mau melanjutkan sekolah atau tidak? Ternyata anak itu sangat ingin sekolah dan dia termasuk anak yang pintar. Istri saya mengusulkan, agar kami membantu anak itu daftar sekolah dan menanggung SPP tiap bulan. Terus terang saat itu kondisi ekonomi kami pun sedang sulit. Gaji satu bulan hanya cukup untuk makan. Karena sisanya digunakan untuk membayar cicilan pinjaman uang ke Bank yang kami gunakan untuk membeli rumah.
Istri membesarkan hati saya, “Yah, Allah akan melapangkan rezeki umat-Nya yang mau bersedekah dan berinfak, apalagi kita dalam keadaan sempit, kalau nunggu lapang rezeki mau kapan lagi?” ujarnya.
Saya pun akhirnya menyetujui. Kami pun mendaftarkan anak itu untuk sekolah. Alangkah senangnya hati dia bisa melanjutkan sekolah. Untuk membeli seragam dan peralatan lainnya, Alhamdulillah ada teman yang memberi. Jadilah anak itu sekolah dengan riang. Setiap bulan, kami pun tidak membayar SPP.
Selang satu tahun, ada kabar yang sangat menggembirakan. Saya mendapat tawaran S-3 keluar negeri, biaya semua ditanggung oleh pemerintah negara tersebut. Ketika saya mengabarkan hal ini pada istri, dia berurai air mata.
“Subhanallah, Allah tidak pernah ingkar dengan janjinya” begitu katanya. Kami tidak pernah berpikir sedikit pun akan mendapat balasan langsung dari Allah. Ketika membantu anak itu sekolah kami benar-benar ikhlas. Jika dihitung jumlah sedekah yang kami berikan untuk anak itu, dengan beasiswa yang aku dapatkan selisihnya beratus kali lipat. Bahkan lebih dari 700 kali lipat.
Alhamdulillah, saya pun berhasil menyelesaikan S-3 dengan lancar. Kami merasakan kemudahan terus menerus, hasil penelitian saya mendapat penghargaan di tingkat internasional. Bahkan tesis saya mendapat penghargaan, sebagai tesis terbaik di negara tempat aku menimba ilmu.
Rezeki pun mengalir dengan baik, istri bisnis pakaian dan buku-buku. Bisnisnya semakin berkembang dengan baik. Kami pun semakin bersyukur dengan kemudahan yang Allah berikan dan kami semakin bersemangat untuk terus berinfak dan bersedekah. Tidak ada kisahnya orang jatuh miskin karena terlalu banyak berinfak ^_^
Sign up here with your email
1 comments:
Write commentssubhanallah ya mba..jadi semakin kena dg mba Meti sekeluarga dan dapat hikmah dari kisah ini ..amin
ReplyConversionConversion EmoticonEmoticon